Banner 468 x 60px

 

Wednesday, January 31, 2018

Mengenal Kata Bid'ah

0 comments
Secara etimologi, kata bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Abu Husain Ahmad bin Faris (w. 393 H.) adalah memulai dan membuat suatu perkata tanpa ada contoh. Sementara Abu Abd Rahman al-Khlmil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H ) mengatakan bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang sebelumnya tidak di buat, tidak disebut dan tidak dikenal. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bidah secara umum dalam arti bahasa adalah suatu yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan makna demikian, bid’ah dalam beberapa ayat disebutkan, seperti dalam surah al-Baqarah [02]:117) dan surah al-Ahqaaf [46]: 09). Dalam terminologi agama, terdapat sejumlah pandangan dari ulama mengenai definisinya. Di antaranya, difinisi yang dikemukakan oleh al-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abd as-Salam dalam kitabnya, Qawa'id al-Ahkam wa maslaha wa al-Anam, (2: 131-134), adalah suatu perbuatan yang tidak dikenal pada masa zaman Rasulullah. Dari nefinisi ini dapat disimpulkan bahwa term bid’ah hanya berlaku pada urusan agama, tidak pada urusan duniawi. Bukti lainnya, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Imam Malik, “Kalian lebih lebih tahu tentang urusan duni kalian”. Dengan demikian, perbuatan yang berkaitan dengan urusan duniawi menjadi hak setiap individu. Setiap orang mempunyai kebebasan dalam melakukan suatu yang ia inginkan selagi tidak terjadi konvrontasi dengan hukum syariat. Lantas, apakah semua bid’ah yang berkaitan dengan agama tersebut adalah perbuatan sesat? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah memang ada ungkapan demikian: أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّالْأُمُوْرَ مُحْدثاتَهَا وكُلُّ محدثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ Artinya:“Berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat bidah, dan setiap perbuatan baru itu adalah bidah dan semua bidah itu sesat ” (HR. Ibn Majah) Secara lahir Hadits tersebut menggunakan kata “كل”yang berarti “semua” dalam membidahkan suatu yang baru. Akan tetapi, yang dikehendaki dari lafal “كل”di sini bukanlah arti aslinya, melaikan adalah makna “sebagian”. Sebab tidak semua kata "كل" itu menunjukkan arti "semua", seperti firman Allah dalam al-Qur'an: وَجَعَلْناَ مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيِّ أَفَلاَ يُؤْ مِنُوْنَ Artinya:“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-Anbiyaa’ [21]:30) Dalam ayat ini Allah menggunakan kata “كل”, yang berarti umum pada segala sesuatu apapun. Akan tapi, dalam ayat yang lain Allah juga berfirman: “Dan dia menciptakan jin dari nyala api” (QS Ar-Rahman [55]:15). Dengan demikian, sangat jelas bahwa lafal "كل" dalam ayat tersebut bukanlah makna asal dari lafal "كل" itu sendiri, melainkan bermakna sebagaian. Demikian pula dengan maksud dari lafal “كل”dalam Hadits di atas. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama terkemuka, diantaranya adalah Imam Nawawi ( W. 676 H ), seorang ulama pakar Hadits dari Siria. Beliau berkata, perkataan Rasul "وكل بدعة ضلالة" ini adalah kalimat umum yang di-takhshîs dan yang dimaksud Hadits ini adalah bid’ah secara umum. Dari itulah, sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah Hasanah dan Dhalalah atau dalam bahasa lain: Bid'ah Madzmumah dan Bid'ah Mahmudah. Bid'ah Hasanah adalah pekerjaan baru yang tidak menyalahi kandungan al-Qur'an, sunnah dan Ijmak. Lantaran itulah, ia disebut Mahmudah (terpuji) karena bagian dari kreasi berpikir umat. Adapun bid'ah Dhalalah adalah pekerjaan baru yang menyalahi al-Qur'an, Sunnah dan Ijmak. Oleh karenanya, ia disebut Madzmumah (tercela). Istilah bid’ah Hasanah sebenarnya sudah dikenal sejak ‘Umar bin Khaththab memberlakukan shalat berjamaah untuk pelaksanaan shalat Tarawih, yang sebelumnya umat Islam shalat Tarawih sendiri-sendiri. Setelah pelaksanaan shalat tarawih berjamaah berlangsung dengan Imam Ubay bin Ka’ab selaku Imam, Umar bin Khaththab mengatakan, “Ini adalah bid’ah yang baik.” Kemudian, istilah dhalalah (sesat) mengacu pada hadits yang disampaikan oleh Nabi seperti di atas. Juga hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi melalui jalur Abu Hurairah yang menyatakan bahwa orang yang membuat bidah dhâlalah (sesat) yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya. Tiada dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. Nah, dengan pemaparan istilah tersebut maka tidak semua bid’ah dihukum sesat (dhalalah). Hanya bid’ah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-nya yang berkategori sesat. Sebab, kalau memang semua bid’ah adalah sesat dengan hanya berlandaskan adanya kata Kullu dalam riwayat Ibn Majah di atas, tentunya Rasulullah tidak akan menyifati kata bid’ah dengan kata dhalalah, melainkan dengan kata bid’ah saja. Kemudian, mengenai hadits yang diriwayatkan oleh kaum bid’ah menurut mayoritas ulama hukumnya Mardud, ditolak. Sebagian ulama menerimanya asalkan dialeknya benar dan bahasa yang baik. Sebagian lain menerimanya asalkan tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah Mutawatir dalam syara’ dan bersifat pasti dari agama. Ada pula yang memilah menurut kadar kebid’ahannya; jika bid’ahnya sampai menyebabkan kufur (mukfirah) maka ditolak; jika bid’ahnya hanya sebatas fasik (mufsiq) sebagian besar ulama menerimanya dengan syarat: tidak mendorong pada kebid’ahannya, tidak meriwayatkan sesuatu yang mendorong pada kebid’ahannya dan tidak menghalalkan dusta.

0 comments:

Post a Comment