Banner 468 x 60px

 

Thursday, September 3, 2020

Apa Maksud dari Ungkapan Aw Kama Qala?

0 comments
Artinya, atau seperti yang beliau katakan. Ungkapan dari seorang Rawi dan pembaca hadits ketika terjadi keserupaan pada lafadz Hadits yang dibaca, sehingga ada keraguan dalam hatinya. Menurut an-Nawawi, bagi Rawi atau pembaca Hadits sebaiknya mengatakan ungkapan demikian ketika ada keraguan di dalam hatinya mengenai teks Hadits yang dibaca. Begitu juga disunnahkan untuk mengatakan demikian setelah membaca Hadits yang diriwayatkan secara makna, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Sahabat dan orang-orang setelahnya. Sama dengan istilah ini adalah ungkapan rawi, "Aw Nahwuhu atau Aw Syibhuhu" dari beberapa redaksi yang menyiratkan adanya keraguan (taraddud) manakala menyampaikan lafadz hadits. Para sahabat juga mengatakan demikian, walaupun mereka tergolong A’alm an-Nas terhadap apa yang disabdakan oleh Nabi, karena khawatir terjadi keluputan saat mencerikan secara maknawi.

Read more...

Monday, February 5, 2018

Apa Saja Langkah Penelitian Hadis Tematis?

0 comments
Kata Maudhu’i nisbat pada kata al-mawdhu’ yang berarti topic atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara istilah Syarah Mawdhu’i berarti menjelaskan Hadis menurut tema atau topik tertentu. a. Langkah-Langkah Penelitian Adapun langkah penelitian hadis Maudhu’i sebagai berikut: 1. Menentukan topik Penting untuk menentukan topik bahasan terlebih dahulu berikut menentukan batasan-batasan dan mengetahui jangkauannya. Semisal, topik yang akan dibicarakan adalah terputusnya amal setelah kematian (Inqitha’ al-‘Amal). Berarti pembahasannya sebatas hubungan antara mayit, Allah dan orang yang hidup saat ingin mendoakan atau mengirimkan hadiah pahala amal. Dengan demikian, hadis pokoknya adalah: إذا مات ابن أدم إنقطع عمله الحديث 2. Memukan Asbab al-Wurud Maksud hadis tidak lepas dari sebab munculnya. Hanya saja, terkait asbab al-wurud tidak semua hadis disebutkan sebab lahirnya. Untuk mengetahui hal ini, bisa melihat semacam kitab al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbab wurud al-Hadis, oleh Ibn Hamzah al-Husaini. Hal penting yang perlu dicari dalam hal ini adalah pada hadis pokok termasuk keterangan yang mendukung dalam syarh. 3. Mencari Isnad Pendukung Jalur isnad pada hadis pokok diteliti sesuai dengan mekanisme penelitian. Termasuk pula, isnad melalui jalur berbeda pada hadis yang memiliki unsur kesamaan, baik secara lafdzi ataupun makna. Hal ini sebagai langkah untuk menemukan daftar rujukan yang saling menguatkan antar jalur dalam konsep Tabi’ atau Syahid atau bahkan pelemahan ketika terjadi takhaluf untuk menemukan apakah hadis selamat dari unsur Syadz atau tidak. Praktik ini masuk dalam kajian I’tibar yang telah dibahas. 4. Menghimpun Hadis-Hadis Penjelas Setelah topik dan batasan ditentukan, himpunlah semua informasi berupa hadis-hadis yang menyangkut masalah Inqitha’ al-‘Amal. Tidak hanya berkaitan dengan kata yang secara lafdzi memiliki kedekatan maksud dalam bentuk kata yang musytaq, tapi juga setiap hal yang berkaitan dengan terputusnya amal setelah kematian, semisal doa untuk orang yang telah meninggal dan pengiriman bacaan untuk arwah mereka. Hadis-hadis ini nantinya berfungsi sebagai penjelas. Model penelusurannya bisa dengan menggunakan Mu’jam al-Mufahras dan semua Mutun al-Hadis yang telah merangkum hadis-hadis tematis dalam suatu bab. Jika kita akan menelurusi hadis-hadis yang sesuai tema, berarti kata kunci yang dapat dijadikan acuan adalah: (1) Inqitha’ al-‘Amal, (2) ba’da al-Maut, (3) wushul ats-Tsawab, (4) du’a lil mayyit, atau kata lain yang dimungkinkan untuk mendukung terhadap tema. 5. Menyusun Pembahasan Setelah data hadis pokok, pendukung dan penjelas lengkap maka kita susun pembahasan pada hadis-hadis yang ada dengan alur yang sistematis. Jika dari kumpulan hadis-hadis ini kita temukan tema pada hadis-hadis tersebut sama, tapi kata-katanya berbeda, baik dari sisi i’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan maksud dalam mensyarahnya. Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, tetapi pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah kata atau kalimat (Ziyadah ats-Tsiqat), atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling tsiqat, dapat diterima dan dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan syarah. Jika tidak pada rawi tsiqah maka ditolak (lihat kajian I’tibar). Apabila perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif (kontradiktif). Cara penyelesaiannya adalah dengan mengompromikan dua hadis yang bertentangan (al-Jam’u), atau melalui data sejarah mana yang disampaikan awal dan akhir yang kemudian terjadi penghapusan (an-Naskh), dan atau mengunggulkan salah satunya dengan melihat data kualitas rawi dan kekuatan daftar rujukan melalui Tabi’ atau Syahid. Bisa mungkin, takhaluf pada dua hadis disebabkan oleh penggunakan kata atau kalimat yang bersifat umum, sedangkan yang satunya khash. Untuk hal ini, bisa dengan melakukan pengompromian antara yang ‘Amm dan Khash, Muthlaq dan Muqayyad, khususnya yang kelihatan kontradiktif, sehingga bertemu dalam satu tujuan tanpa ada perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadis. Untuk melengkapi pembahasan dan uraian, harus melibatkan ayat al-Qur’an. Bagaimana informasi dari al-Qur’an terkait dengan tema yang menjadi topik kajian? Hal ini untuk menjadi tambahan data pendukung, juga untuk memastikan apakah hadis yang diteliti sejalan atau bertentangan dengan al-Qur’an. Penting pula, membandingkan berbagai syarahan hadis dari berbagai kitab-kitab syarah dengan tidak meninggalkan syarahan kosa kata, frase, dan klausa dari mereka. Langkah ini penting, agar kajian tidak berbeda jauh dari pemikiran ulama salaf. 6. Menyusun tema pembahasan Hadis-hadis yang telah diketahui terangkum dalam satu tema, baik pokok, pendukung dan penjelas, perlu penyusunan kajian ke dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh. Contoh outline penggarapannya sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN a. Deskripsi Masalah b. Rumusan Masalah c. Manfaat Penelitian BAB II KUALITAS HADIS a. Penelusuran Hadis 1. Penelurusan dengan potongan tema 2. Penelusuran dengan Athraf 3. Melalui bab-bab dalam kutub-kutub hadis. (tidak perlu menampilkan hadis secara utuh, cukup kode penelusuran). b. Hadis Pokok 1. Teks Hadis (Seluruh rawi pada hadis yang selafal disampaikan) 2. Asbab al-Wurud (jika ada) 3. Kualitas Isnad dan Rawi 4. Kualitas Hukum (Laporkan temuan secara singkat) c. Riwayat Pendukung (Komparasi) 1. Ayat Pendukung (jika ada) 2. Hadis Pendukung (Semua hadis disampaikan plus mukharrij yang diambil dari temuan rumus penelusuran. Selanjutnya sampaikan kegunaan hadis untuk memperkuat hadis pokok). d. Riwayat Penjelas 1. Ayat penjelas 2. Hadis penjelas (Sampaikan semua ayat dan hadis-hadis yang mendukung pada pemahaman tema secara konfrehensif. Jangan lupa sebutkan mukharrij dan kualitas hadis dari ulama) BAB III DALALAH HADIS a. Uraian Kata (Kata perkata pada hadis pokok diurai, terutama pada kata kunci secara sharfiyah dan nahwiyahnya) b. Makna Kata (Uraikan penjelasan dan definisi pada kata sekaligus persoalan yang menjadi tema. Semisal, tema ziarah kubur. Apa itu ziarah dan apa itu kubur) c. Dalalah dalam Penggunaan Kata (Jelaskan dalalah pada kata yang digunakan dalam hadis pokok dengan meninjau empat hal berikut:) 1. Peletakan kata pada makna - Khash - ‘Amm - Musytarak - Mu’awwal 2. Penggunaan kata dalam makna - Haqiqah - Majaz - Sharih - Kinayah 3. Petunjuk Kata Meninjau Zhahir dan Khafa’ -Wadhih ad-Dalalah -Mujmal 4. Petunjuk Hukum - Manthuq - Mafhum (uraikan maksud dalam penggunaan kata dan sampaikan definisi dari dalalah di atas) BAB IV MAKSUD HADIS a. Maksud Hadis Secara Global (uraikan maksud hadis pokok secara global sesuai dengan temuan-temuan di atas) b. Keterkaitan Hadis dengan Dalil Lain (uraikan hukum terkait dengan tema melalui studi komparasi dalil sesuai petunjuk yang ditemukan dalam data-data di atas, khususnya ketika terjadi ta’arudh dalam ‘Amm-Khas dan Muthlaq-Muqayyad. Sampaikan hadis dengan lengkap sesuai dengan temuan dalam hadis pendukung dan penjelas) c. Syarh Ulama (Sampaikan pendapat ulama terkait dengan tema, khususnya pendapat empat madzhab) d. Aspek Hukum (sampaikan aspek hukum pada tema) BAB V KESIMPULAN 3. Kualitas hadis 4. Penjelasan Hadis DAFTAR PUSTAKA
Read more...

Wednesday, January 31, 2018

Motif Penipuan Data atau Tadlis dalam Hadis

0 comments
Artinya, penyembunyian cacat. Sebuah tindakan berupa penyembunyian cacat oleh seorang rawi sehingga mengesankan Hadits yang ia riwayatkan diterima (Maqbûl ). Akan tetapi, setelah diteliti ulang ternyata ada penyembunyian illat di sana. Mengenai faktor yang mendorong seorang rawi melakukan manipulasi (tadlis) dalam sanad di antaranya adalah. 1) Bermaksud menyamarkan keterputusan isnad dan berpura-pura bahwa isnad Haditsnya berkesinambungan (ittishal), serta berkelit dengan tidak menyebutkan rawi yang tidak disenangi. Mungkin karena rawi dimaksud memiliki cacat, tidak diketahui, atau masih kecil sehingga diupayakan untuk disembunyikan agar Haditsnya terlihat unik dan populer sehingga dapat diterima. Hal seperti ini biasanya terjadi ketika seseorang telah mendengar dari rawi yang dha'if, matruk, dituduh dusta atau pemalsu Hadits, lalu ia memolesnya agar Haditsnya bisa diterima. 2) Bermaksud agar Haditsnya memiliki kedudukan tinggi dengan sedikitnya isnad (Hadits 'Aly), yang memang banyak dicari oleh banyak orang. Kebalikan dari banyaknya sanad (Hadits Nazil). 3) Ingin meringkas sanad yang ada. Ini banyak terjadi di kalangan ulama Tâbi’in yang menyampaikan Hadits dengan meringkas sanadnya. Pada biasanya, mereka melakukan hal itu dalam acara diskusi, saat berfatwa, berceramah, menafsiri ayat, atau dalam kondisi amar Ma'ruf nahi Munkar. Mereka tidak berkeinginan untuk menyebutkan isnad secara lengkap karena kondisinya saat itu bukan dalam suasana menceritakan hadits (tahdis). Mengenai perbedaan antara Tadlis dengan Irsal al-Khafi terletak pada pernah mendengar hadits dari orang yang disebut di atasnya atau tidak. Jika dalam dalam Tadlis rawi yang men-tadlis (menipu) masih mendengar hadits lain dari rawi yang disebut di atasnya, maka dalam Irsal al-Khafi rawi yang menipu sama sekali belum pernah mendengar satu hadits pun dari orang yang disebut di atasnya. Namun, pandangan ulama lain mengatakan Tadlis dan Irsal al-Khafi adalah sama.

Read more...

Apa Maksud dari Takhrij al-Hadits ( تخريج الحديث )?

0 comments
Artinya sederhananya adalah mengeluarkan hadits. Mahmud ath-Thahhan memberi penjelasan bahwa takhrij al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang di-takhrij. Kemudian al-Hatim menjelaskan pengertian takhrij al-hadits sebagai upaya untuk mengembalikan hadits pada sumber aslinya yang akurat. Jika kemudian pada aslinya tidak ditemukan maka dapat merujuk pada cabang-cabangnya, dan jika masih mengalami kesulitan maka dengan mengembalikan pada catatan Muhaddits yang memiliki sanad dan menjelaskan tingkatan hadits secara umum. Arti awal dari kata ini adalah sebuah aksi dari seorang Muhaddits yang mengeluarkan hadits berserta sanadnya yang disertai penyebutan kualitas hukumnya dengan metode periwayatan yang ia tempuh. Sang Muhaddits yang meriwayatkan hadits yang disertai isnadnya disebut Mukharrij. Termasuk di dalamnya para pemiliki kutub as-Sittah yang menulis hadits dengan mencantumkan sanad yang dimiliki mereka, mulai dari gurunya hingga Sahabat dan Rasulullah. Pada arti yang lebih luas kata takhrij berkembang pada studi penelitian hadits yang disertai dengan argumen dan hukum terkait dengan hadits yang diteliti. Pada biasanya, takhrij model ini dilakukan untuk kitab-kitab, seperti fikih dan tasawuf yang pengarangnya tanpa menyantumkan hadits yang ditulis sebagai landasan hukum yang dikeluarkannya. Kemudian, ada ulama yang mentakhrij hadits-hadits tersebut dengan menelusuri jalurnya sehingga ditemukan sumber aslinya yang kemudian memberi petunjuk siapa rawinya dan status hukum hadits tersebut dengan menjelaskan keadaan rawi. Adapun orang yang pertama kali melakukan takhrij model demikian adalah al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H.) yang kemudian diikuti oleh Musa al-Hazimi asy-Syafi’i (w. 584 H.) melalui karyanya Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab. Kitab model demikian inilah yang dimaksud dengan Kutub at-Takhrij yang menunjuk pada jenis kitab yang menghimpun hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab bidang tertentu, seperti fikih dan tasawuf setelah diteliti dan dicarikan sumber sanadnya. Tentunya, juga disertai penilaian akan status hadits yang ditulisnya. Termasuk jenis kitab ini adalah Takhrij Ahadits al-Ihya' li al-Ghazali yang ditulis oleh Zainuddin al-'Iraqi. Takhrij al-'Iraqi ini kemudian banyak dicetak beserta kitab asli yang ditakhrij, yakni Ihya' 'Ulum ad-Din, khususnya pada bagian footnote. Takhrij juga berarti sebuah upaya untuk mencari sanad suatu hadits dan menjelaskan keadaan para rawinya serta kualitas haditsnya dengan mengacu pada penilaian para an-Naqid dalam kitab-kitab mereka. Dari penelusuran itulah akan ditemukan kekuatan atau kelemahan sanad yang dapat melahirkan keputusan atas kualitas hadits. Dalam konteks seperti inilah kata takhrij yang berkembang hingga kini. Terlebih lagi, untuk saat ini banyak kitab-kitab takhrij yang dapat dijadikan rujukan dalam memberi keputusan. Hanya saja, takhrij model demikian hanyalah berbentuk kutipan takhrij dari pendapat ulama sebelumnya yang juga berkomentar mengenai hadits yang diteliti. Takhrij model inilah yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini.

Read more...

Biografi Taj ad-Din at-Tibrizi ( تاج الدين التبريزي )

0 comments
Seorang ahli hadi dari madzhab Syafi’i dengan nama lengkap Abu al-Hasan Taj ad-Din ’Ali bin ’Abdillah bin al-Husain bin Abi Bakar al-Ardabili at-Tibrizi. Tibriz adalah sebuah daerah yang banyak mengeluarkan ulama besar, di antaranya al-Qadhi Abu Shalih Sya’aib bin Shalih bin Syu’aib at-Tibrizi. Ia dilahirkan pada tahun 677 H./1278 M. Setelah menetap di Tibriz, tempat kelahirannya ia berkelana ke Baghdad, lalu ke Mekah menunaikan ibadah haji. Setelah itu ia ke Mesir dan berfatwa di sana saat usianya menginjak 30 tahun. Ia terkena penyakit tuli di akhir usianya dan wafat di Kairo pada tahun 1278 H./1345 M. At-Tibrizi menulis di banyak bidang, seperti Tafsir, Hadits, Ushul dan Hisab. Di antara karyanya di bidang hadits adalah al-Kafi fi ’Ulum al-Hadits dan al-Qisthas al-Mustaqim fi al-Hadits ash-Shahih al-Qawim.

Read more...

Siapakah yang Dimaksud Tabi'i?

0 comments
Artinya, pengikut. Kata sebutan untuk orang-orang yang hidup sejaman dan bertemu dengan Sahabat, serta beragama Islam dan wafat dalam keadaan Islam. Al-Khatib al-Baghdadi berpendapat, seorang bisa dikatakan Tâbi’i disyaratkan harus adanya pergaulan dengan sahabat Nabi , tidak cukup hanya sekedar bertemu. Al-Hafidh Ibnu KAtsîr juga berkata, "Ulama tidak menganggap cukup sekedar melihat sahabat Nabi , sebagaimana mereka menganggap cukup penamaan orang yang bertemu Nabi , sebagai sahabatnya. Perbedaannya ialah keagungan dan kemuliaan yang disebabkan melihat Nabi ." Akan tetapi sebagian besar Muhaddits berpendapat bahwa at-Tâbi’iy adalah orang yang pernah berjumpa sahabat Nabi , dalam keadaan beriman, meskipun tidak bergaul dengannya dan tidak meriwayatkan hadits darinya. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Shalah dan lainnya. Jumlah Tâbi’in tak terhitung banyaknya sampai mencapai 15 tingkatan. Para imam Islam telah sepakat bahwa akhir masa Tâbi’i adalah tahun 150 Hijriyah. Namun, Ulama masih berselisih tentang siapa Tâbi’iy yang paling utama, ada yang mengatakan, Sa'id Ibnul Musayyib, dan ini adalah pendapat penduduk Madinah, ada yang mengatakan al-Hasan al-Bashri dan ini adalah pendapat penduduk Bashrah, ada yang mengatakan Uwais al-Qarani dan ini adalah pendapat para ulama Kufah yang juga didukung oleh Ibnu Sholah. Ada yang mengatakan lainnya menurut persepsi masing-masing daerah Islam.

Read more...

Apa Saja Fungsi Hadis terhadap Alquran?

0 comments
Dalam ilmu hadits disebutkan, di antara fungsi hadits di samping al-Qur'an adalah untuk menjelaskan kandungan isi al-Qur’an, baik yang masih global (bayan al-Mujmal) atau menetapkan dan memperkuat apa yang telah diinformasikan oleh al-Qur'an (bayan at-Taqrir). Bayan at-Tasyri' ( بيان التشريع ) Artinya, menjelaskan syariah. Salah satu fungsi hadits yang memiliki sumber hukum tersendiri, karena al-Qur'an tidak menyunggungnya atau meyinggung tetapi sifatnya hanya khusus yang masalah-masalah pokok. Dengan demikian, hadits merupakan bentuk tambahan apa-apa yang telah diinformasikan oleh al-Qur'an. Hadits yang berfungsi demikian contoh adalah hadits yang menjelaskan hukum halalnya janin yang mati dalam kandungan induknya. Sekalipun tanpa disembelih secara syara' tetap dihukumi suci dan halal dimakan. Termasuk juga, hukum bangkai ikan laut. Bayan at-Taghyir aw an-Naskh ( بيان التغيير أوالنسخ ) Artinya, menjelaskan tentang perubahan dan penghapusan hukum. Salah satu fungsi hadits yang menjelaskan adanya perubahan dan penghapusan suatu hukum yang telah diinformasikan oleh al-Qur'an. Contohnya, hadits yang melarang ahli waris menerima warisan, La Washiyata li Waritsin (H.R. Tirmidzi). Hadits ini menghapus ketetapan al-Qur'an yang memerintahkan agar berwashiat untuk orang tua dan kerabat secara ma’ruf (al-Baqarah [02]: 180). Menanggapi terjadinya naskh oleh hadits terhadap ketetapan al-Qur'an ini ulama pecah; ada yang menerima dan ada yang menolak. Di antara ulama yang menolak adanya Naskh al-Kitab dengan sunnah walaupun dengan hadits Mutawatir adalah Imam Syafi’i (qaul Jadid) dan sebagian besar madzhab Zhahiri, kelompok Khawarij dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Hanafi, membatasi fungsi Naskh al-Kitab ini pada hadits-hadits Mutawatir dan Masyhur, sedangkan hadits Ahad tidak bisa. Kalangan yang memperbolehkan adalah dari kalangan Mutakallimin dari Asya’irah dan Mu’tazilah dan dari kalangan ahli fikih seperti Imam Malik, kalangan Hanafiyah, Ibn Suraij dan sebagian ulama madzhab Syafi’i. Sebagian besar ulama yang menerima adanya Naskh al-Kitab memang banyak berargumen dengan hadits wasiat di atas. Selain juga, tentang ayat Jild yang dinaskh dengan hadits Rajam. Akan tetapi, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa argumen ini lemah dan beliau menjelaskan posisi hukum keduanya. Untuk kasus warisan, karena memang warisan adalah hak ahli waris dan mereka berhak untuk melarang agar dialihkan pada wasiat. Dari itulah ayat Mirâts sebenarnya mencegah terjadinya wasiat pada ahli waris. Bayan al-Mujmal (بيان المجمل ) Artinya, menjelaskan yang global. Adalah di antara fungsi hadits yang berperan sebagai penjelas terhadap apa yang dikehendaki oleh al-Qur'an dengan informasi yang masih global, seperti hadits-hadits yang menjelaskan semua yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ibadah dan hukum-hukum, berupa cara-cara, syarat-syarat, waktu–waktu dan gerakan-gerakan. Tentang shalat, misalnya, al-Qur'an tidak menjelaskan jumlah dan waktu serta rukun-rukun setiap shalat, tetapi sunnahlah yang menjelaskannya. Bayân at-Taqrir ( بيان التقرير ) Hadits yang berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan oleh al-Qur’an. Dengan kata lain, hadits hanya berposisi sebagai tambahan informasi yang telah termuat dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, dalam bahasa lain penjelasan yang bersifat memperkuat informasi ini disebut, Bayan al-Muwafiq li Nash al-Kitab. Sekedar untuk contoh, sebuah hadits yang menjelaskan tentang kewajiban berpuasa ketika sudah melihat hilal, "Jika kalian melihat bulan, berpuasalah dan jika melihat bulan berbukalah" (HR. Muslim). Hadits ini hanya untuk memperkuat ayat al-Qur'an dalam surah al-Baqarah [02]: 185 tentang kewajiban berpuasa. Di antaranya lagi, kewajiban berwudhu' sebelum shalat (H.R. Bukhari) yang posisinya hanya memperkuat informasi al-Qur'an dalam surah al-Ma'idah [5]: 06. Bayân at-Tafsir ( بيان التفسير) Hadits yang memberikan tafsiran dan rincian terhadap apa yang disampaikan oleh al-Qur’an. Bayan at-Tafsir ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam: 1) Bayan al-Mujmal, menjelaskan informasi global. 2) Taqyid al-Muthlaq, membatasi informasi yang sifatnya masih mutlak. 3) Takshish al-'Am, menentukan informasi yang masih umum, dan 4) Taudhih al-Musykil, menguraikan informasi al-Qur'an yang rumit dipahami. Satu per satu dari bayan ini dijelaskan dalam entri masing-masing.

Read more...